Bayi yang baru berumur beberapa pekan itu merupakan salah satu dari ribuan pengungsi etnik Rohingya yang mencoba masuk Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari kerusuhan sektarian di Negara Bagian Arakan atau Rakhine, bagian barat Myanmar. Sedikitnya 50 orang tewas dibakar massa dalam kerusuhan yang terjadi sejak Jumat (8/6) antara etnik Rohingya dan Arakan.
Bayi yang belakangan diberi nama Fatima oleh keluarga yang memungutnya itu kini telah lepas dari mara bahaya. Namun seperti ribuan etnik Rohingya lainnya, dia menjadi warga tanpa negara yang sangat rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan penistaan.
Diskriminasi
Diskriminasi dan penistaan tidak pernah terlupakan oleh ingatan Mohammad Kamal. Ulama muda dari Distrik Maungdaw, Arakan, tersebut kabur ke Bangladesh pada 2006. Hal itu terpaksa dia lakukan setelah adik dan keluarganya yang lain dipenjarakan saat junta militer membersihkan para ulama.
Kamal, 28, kini hidup di kamp pengungsi ilegal bersama 20 ribu warga sebangsanya. Mereka tidak diakui sebagai pengungsi. Badan-badan pemberi bantuan juga tidak dapat menyalurkan bantuan ke mereka lantaran pemerintah menolak memberikan status hukum kepada mereka.
"Saya pernah berjalan-jalan tahun lalu. Namun saya ditangkap karena tidak punya dokumen," papar Kamal, sambil menunjukkan bekas luka di lengannya saat mendekam di penjara.
Kerusuhan antaretnik Arakan dan Rohingya membuka kembali mata dunia akan nestapa bangsa yang tanpa negara ini. Berbagai julukan penistaan mereka terima. Tidak satu pun negara bersedia mengakui keberadaan mereka.
Dari sekitar dua juta orang Rohingya, sekitar 800 ribu orang menurut PBB tinggal di Myanmar, terutama di Distrik Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung di Negara Bagian Arakan. Kemudian, sekitar 250 ribu orang tinggal di Bangladesh. Sebanyak ratusan ribu lainnya tersebar ke seluruh penjuru dunia, terutama di Timur Tengah.
Meski jumlah mereka cukup besar di Myanmar, pemerintah negeri itu menolak mengakui etnik Rohingya sebagai warga minoritas dari 135 minoritas yang diakui di
negeri itu.
Di mana pun mereka tinggal, etnik Rohingya tetap mengalami diskriminasi. Human Rights Watch dan kelompok-kelompok advokasi independen lainnya mengungkapkan etnik Rohingya kerap mengalami diskriminasi.
Di Myanmar, misalnya, mereka kerap menjalani kerja paksa oleh militer tanpa dibayar serta penistaan oleh etnik Arakan, warga asli Negara Bagian Arakan.
Orang-orang Rohingya harus mendapat izin dari pemerintah untuk keluar dari desa mereka, bahkan untuk menikah sekalipun. Saat melihat jumlah mereka yang terus bertambah, pemerintah Myanmar juga melarang mereka memiliki anak lebih dari dua orang.
Menurut catatan US Campaign for Burma, pada 1978 militer Myanmar mengusir lebih dari 200 ribu warga Rohingya ke Bangladesh. Sekitar 10 ribu orang kemudian tewas dengan kondisi mengenaskan. Sisanya kembali ke Myanmar karena ditolak Bangladesh. Pengusiran itu kembali terjadi pada 1991-1992 dan mayoritas kembali ke Myanmar.
"Warga (Myanmar) merasa mereka bisa mengatakan, 'Kami akan menghapus semua warga Rohingya'," ungkap Debbie Stothard, aktivis Alternative ASEAN Network on Burma.
Akibat penolakan itu, etnik Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan, rumah, dan hak asasi sebagai manusia.
"Ini tragedi menjadi bangsa tanpa negara," ungkap Chris Lewa, pengelola organisasi nonpemerintah Arakan Project yang mengadvokasi warga Rohingya di seluruh dunia.
"Di Myanmar mereka dicap ilegal dan harus kembali ke Bangladesh. Di Bangladesh mereka disebut orang Burma dan harus kembali ke Burma," sambungnya menyebut nama lain Myanmar.
Akibatnya, sambung Lewa, etnik Rohingya terperangkap di tengah-tengah. Selama puluhan tahun mereka mengalami penistaan dan kondisi itu bertambah buruk dari tahun ke tahun.
Asal
Penguasa Myanmar berkeras Rohingya merupakan imigran dari India yang dibawa Inggris. Berdasarkan undang-undang tahun 1982 negeri itu, warga minoritas harus membuktikan mereka telah tinggal di Myanmar sebelum 1823, yakni sebelum perang Inggris-Myanmar, agar kewarganegaraan mereka diakui.
Perwakilan-perwakilan Rohingya mengatakan mereka telah tinggal di negeri itu jauh sebelum perang tersebut. Menurut catatan US Campaign for Burma, etnik Rohingya sejatinya tiba di Myanmar pertama kali pada abad ke-7. Mereka dikenal sebagai para pelaut dan pedagang Arab yang datang ke Myanmar untuk mencari peruntungan ekonomi.
Kelompok pemukim muslim ini tiba dalam tiga gelombang. Gelombang pertama dari abad ke-7 sampai ke-13. Gelombang kedua pada abad ke-15. Gelombang terakhir dimulai pada 1826 yang dibawa penguasa kolonial Inggris.
Mereka kemudian berasimilasi dengan penduduk lokal dan membuat permukiman permanen di bagian barat Myanmar. Saat ini, jumlah muslim Rohingya mencapai 1/3 populasi Negara Bagian Arakan.
Namun rezim Myanmar mengabaikan fakta tersebut. Pemerintah Myanmar menganggap etnik Rohingya sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh. Parahnya, Bangladesh juga menolak mengakui mereka. Saat ini ribuan warga Rohingya tinggal di tenda-tenda tanpa akses pangan, bantuan medis, dan pendidikan. (Reuters/AP/ibtimes.com/bro-uk.org/I-1)
Posting Komentar
Jika anda menyertakan link baik itu link hidup atau mati maka admin akan menghapus komentar anda..terima kasih