Lebanon (voa-islam.com) Zionis-Israel melakukan pembantaian yang terkutuk terhadap para pengungsi Palestina di Sabra-Satila, di tahun l982. Zionis-Israel bekerjasama milisi Kristen Maronit membantai ribuan pengungsi Palestina.
Mayat-mayat berserakan seperti sampah di Sabra-Satila. Pembantaian itu langsung dipimpin Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon, yang sampai sekarang belum mati, dan masih dalam keadaan koma, sudah lebih dari 7 tahun.
Tiga puluh tahun yang lalu, begitu keji dan biadabnya Zionis-Israel dan Kristen Maronit, yang membantai Muslim Palestina seperti membantai binatang. Tak ada sedikitpun belas kasihan terhadap anak-anak dan perempuan serta orang tua, semuanya mereka bantai seperti binatang ternak.
Dunia internasional semua diam dan membisu. Dari mulut-mulut Zionis-Israel dan Kristen, mereka masih menuduh Muslim Palestina sebagai teroris. Padahal mereka adalah kelompok yang paling biadab, yang selalu meneriakkan toleransi dan pluralisme.
Sumber-sumber internasional memperkirakan bahwa jumlah korban pembantaian Sabra dan Shatila di sekitar 800, sumber-sumber Palestina mengatakan lebih dari 5.500 orang dibunuh secara brutal.
Pembantaian itu melibatkan milisi yang dipimpin Bashir Gemayel, pemimpin Phalangis (milisi Kristen Lebanon). Para Phalangis menuduh bahwa pejuang Palestina melakukan pembunuhan terhadap Bashir.
Sungguh sangat mengerikan, bagiamana pasukan Zionis-Israel sebelum membantai memadamkan aliran listrik di kamp Sabra-Satila. Pembantaian yang sangat keji itu, melibatkan pasukan komando Israel.
Zahra al-Hassan, seorang wanita Palestina, yang melihat langsung pembantaian itu, dan dikenal sebagai Um Shawqi, tinggal di sebuah rumah di Bir Hassan, wilayah Beirut terletak beberapa kilometer dari Sabra dan Shatila.
Pasukan Zionis-Israel dan milisi Phalangis, memasuki kamp dan memberondongkan senjata mereka ke rumah-rumah Muslim Palestina, dan menyeret setiap laki-laki yang ada, kemudian mereka bantai, tanpa belas kasihan.
Pasukan Zionis-Israel yang dibantu milisi Phalangis mengumpulkan setiap warga di Sabra dan Satila, memisahkan antara perempuan dan laki-laki, sesudah itu, pasukan yang tidak beradab itu melakukan ekskekusi terhadap warga Muslim di Sabra-Satila.
Sabtu pagi, Um Shawqi tak mendengar kabar tentang keluarganya yang masih tersisa. Ia mencari di antara mayat-mayat berserakan di jalan-jalan. Tetapi, Um Shawqi tak lagi dapat menemukan suaminya, yang menjadi anggota pasukan di Lebanon, yang masih berdarah Palestina. Um Shawqi berkata:
"Saya akan memberitahu anak-anak saya, dan cucu saya serta anak keturunan saya untuk membalas dendam atas kematian ayah mereka, dan orang-orang yang tewas."
Um Shawqi tak menginginkan konflik Zionis-Israel Palestina itu, segera berakhir, sampai seluruh kematian Muslim Palestina itu, terbalaskan. "Muslim Palestina tak akan pernah berhenti berjuang,sampai kami dapat membalaskan seluruh kematian keluarga-keluarga kami", ujar Um Shawqi.
"Kami tidak akan pernah melupakan tanah air kami, kami adalah tamu di Lebanon dan kami ingin kembali ke rumah kami. Kami ingin berdoa di Yerusalem dengan seluruh Muslim. Kami bukan teroris, dan itu adalah tanah air kami yang kami perjuangkan, kami memiliki orang-orang muda yang kuat yang bisa makan kepala ular (Zionis) itu, "kata Umi Shawi. Um Shawqi menyoroti satu keluarga Libanon al-Mukdad yang kehilangan 28 anggota keluarganya dalam sekejab akibat pembantaian massal.
Siham Balqees, seorang wanita Palestina yang tinggal dekat kamp-kamp pada saat pembantaian, menggambarkan kengerian, dan beruntung lolos dari kamp pembantaian. "Kita tidak bisa percaya bahwa orang yang menggunakan pisau pada orang lain," katanya dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya bahasa Inggris.
Beberapa peristiwa mengerikan, ungkap Siham Balqees:
"Saya melihat seorang wanita tua, yang ditembak dikepalanya dan tembus ke telinga, karena dia menyanyikan bait-bait tentang Abu Aammar (Yassar Arafat). Saya melihat tubuh seorang anak, kurang dari satu bulan, terpampang di sisi roda kendaraan lapis baja. "
Penderitaan begitu menyayat dari suara dari orang-orang yang dibantai, sebelum mereka meregang nyawanya, ia teringat mayat tergeletak di tanah, penuh dengan lubang peluru dan disayat dengan parang. Sana Sirsawi lahir di kamp pengungsi Palestina Shatila, dan berumur 19-tahun, ketika pasukan Israel dan Phalangis memasuki kamp-kamp Palestina, dan melakukan pembantaian.
Pada tahap awal kehamilan, dengan dua anak perempuannya, Sana Sirsawi ingat dipaksa untuk berjalan dari Shatila ke Sabra. Sepanjang malam kami mendengar tembakan. Selama tiga hari kami mendengar suara berderak dari bom cahaya sebagai mereka yang jatuh ke tanah. "
Laporan luas dan pernyataan para saksi, di tahun-tahun setelah pembantaian itu menunjukkan bahwa Angkatan Darat Israel menggunakan bom curah, yang digunakan membantai Muslim Paletina. Bom-bom meledak dan mengeluarkan serpihan kecil kecil di daerah yang luas dan sangat menghancurkan siapa saja. Sungguh sangat mengerikan.
Wawancara Sana Sirsawi itu menekankan betapa segar memori kekejaman berada dalam pikiran korban ', sampai hari ini dia tidak tahu apa yang terjadi kepada suaminya dan saudara iparnya:
"Kami harus pergi melalui cobaan berat, kami menggendong anak-anak kami dengan semua yang telah terjadi ... dan karena apa yang saya lihat, sekarang saya terkena kanker."
Tiga dekade kemudian, 18 September tetap menjadi hari kesedihan besar bagi keluarga Palestina, Lebanon dan Suriah yang kehilangan begitu banyak orang di kamp-kamp pengungsi. Sungguh sangat tragis.
Begitu masih ada yang menyakini dan percaya apa yang di teriakkan oleh para pejuang hak-hak asasi manusia, dan kelompok pencinta HAM, dan pejuang plurisme di mana-mana.
Sejatinya mereka para kaki tangan Zionis-Israel, yang ingin menutup semua kejahatan Zionis-Israel, dan tidak boleh membalas segala kejahatan para penjajah Zionis-Israel, yang begitu biadab dan keji. mh.
Artikel Lainnya
[random][fbig2]
Info Ringan
complex{fbig2}/Misteri,Sejarah,Unik
Posting Komentar
Jika anda menyertakan link baik itu link hidup atau mati maka admin akan menghapus komentar anda..terima kasih