JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak berbagai upaya 'menghidupkan kembali' ideologi komunisme, KH. Amidhan, ketua MUI, mengatakan pihak-pihak yang saat ini gencar meneriakkan slogan dan rekomendasi keadilan bagi anggota atau keluarga PKI dan afiliasinya lupa atau sengaja menutupi fakta yang sesungguhnya menjadi latar belakang aksi-aksi rakyat pada kurun Oktober 1965-1966.
"Seharusnya mereka juga menyelidiki dan mengupayakan keadilan bagi para kyai dan ulama yang telah menjadi korban aksi-aksi sepihak PKI sebelum 30 September 1965," ujar Amidhan, dalam diskusi 'Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S-PKI tahun 1965', Aula Gedung MUI, Jl. Proklamasi 51, Jakarta Pusat, Senin (1/10).
Menurut Amidhan, rekomendasi tersebut sama saja ingin menjadikan PKI sebagai pahlawan. Padahal menurutnya, pelaku pemberontakan G30S/PKI adalah partai berhaluan komunis itu. "Tidak adil kalau pembantaian PKI dianggap pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat," kata Amidhan
Peristiwa setelah G30S/PKI, dinilai Amidhan, merupakan reaksi atas pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat (AD). Rakyat saat itu, menurut Amidhan, demikian geram. Apalagi sebelum peristiwa G30S/PKI, PKI juga melakukan pembersihan pada kyai dan santrinya di desa-desa. "Mereka membunuh dengan dalih memerangi tuan tanah," katanya.
PKI dengan paham komunis yang dibawanya pada saat itu menganggap kelompok Islam adalah salah satu musuh mereka. Pemungut zakat dianggap salah satu dari tujuh setan desa yang jelas bertentangan dengan syariat Islam. "Sejak saat itu para tokoh muslim memberikan reaksi keras dengan melakukan perlawan balik," katanya.
Tanggal 30 September 1965, dinilai Amidhan, adalah puncak gunung es dari niat jahat PKI merebut kekuasan RI.
Ditambahkan Amidhan, suara-suara yang ingin meluruskan fakta sejarah tersebut sudah menguat sejak berakhirnya orde baru.Memasuki era reformasi, banyak tekanan untuk dilakukannya pelurusan sejarah. Namun isu ini dinilai Amidhan diboncengi dengan upaya memojokan kelompok Islam dengan tuduhan turut serta membantai pemimpinan dan pendukung PKI. "Kekejaman PKI luar biasa," katanya.
"Bahkan salah satu lembaga negara yang menangani permasalahan HAM dan mengeluarkan pernyataan resmi bahwa peristiwa 30 September telah terdapat bukti pelanggaran HAM berat," tambahnya.
Amidhan sendiri melihat saat ini gerakan komunis muda mulai bangkit. Tidak bergerak di permukaan, mereka bergerak melalui gerakan menuntut keadilan dengan dalih pelurusan sejarah.
Padahal, menurut Amidhan, apabila rakyat tidak melakukan perlawanan massif terhadap PKI dan afiliasinya, maka kemungkinan besar NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bisa bubar. Berganti menjadi Negara Komunis Indonesia.
Hingga saat ini, menurut Amidhan, masih ada pro dan kontra mengenai siapa di balik gerakan pembrontakan tersebut, dari mulai intelejen asing, friksi internal tentara Angkatan Darat saat itu, hingga intelejen asing yang ikut bermain. "MUI masih berkeyakinan bahwa pelakunya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Amidhan.
Selain Amidhan, hadir juga Letjend. Kiki Syahnakri, Prof. Mansyur Suryanegara, Dr.Taufiq Ismail, Alfian Tanjung, Harry Tjan Silalahi.
"Seharusnya mereka juga menyelidiki dan mengupayakan keadilan bagi para kyai dan ulama yang telah menjadi korban aksi-aksi sepihak PKI sebelum 30 September 1965," ujar Amidhan, dalam diskusi 'Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S-PKI tahun 1965', Aula Gedung MUI, Jl. Proklamasi 51, Jakarta Pusat, Senin (1/10).
Menurut Amidhan, rekomendasi tersebut sama saja ingin menjadikan PKI sebagai pahlawan. Padahal menurutnya, pelaku pemberontakan G30S/PKI adalah partai berhaluan komunis itu. "Tidak adil kalau pembantaian PKI dianggap pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat," kata Amidhan
Peristiwa setelah G30S/PKI, dinilai Amidhan, merupakan reaksi atas pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat (AD). Rakyat saat itu, menurut Amidhan, demikian geram. Apalagi sebelum peristiwa G30S/PKI, PKI juga melakukan pembersihan pada kyai dan santrinya di desa-desa. "Mereka membunuh dengan dalih memerangi tuan tanah," katanya.
PKI dengan paham komunis yang dibawanya pada saat itu menganggap kelompok Islam adalah salah satu musuh mereka. Pemungut zakat dianggap salah satu dari tujuh setan desa yang jelas bertentangan dengan syariat Islam. "Sejak saat itu para tokoh muslim memberikan reaksi keras dengan melakukan perlawan balik," katanya.
Tanggal 30 September 1965, dinilai Amidhan, adalah puncak gunung es dari niat jahat PKI merebut kekuasan RI.
Ditambahkan Amidhan, suara-suara yang ingin meluruskan fakta sejarah tersebut sudah menguat sejak berakhirnya orde baru.Memasuki era reformasi, banyak tekanan untuk dilakukannya pelurusan sejarah. Namun isu ini dinilai Amidhan diboncengi dengan upaya memojokan kelompok Islam dengan tuduhan turut serta membantai pemimpinan dan pendukung PKI. "Kekejaman PKI luar biasa," katanya.
"Bahkan salah satu lembaga negara yang menangani permasalahan HAM dan mengeluarkan pernyataan resmi bahwa peristiwa 30 September telah terdapat bukti pelanggaran HAM berat," tambahnya.
Amidhan sendiri melihat saat ini gerakan komunis muda mulai bangkit. Tidak bergerak di permukaan, mereka bergerak melalui gerakan menuntut keadilan dengan dalih pelurusan sejarah.
Padahal, menurut Amidhan, apabila rakyat tidak melakukan perlawanan massif terhadap PKI dan afiliasinya, maka kemungkinan besar NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bisa bubar. Berganti menjadi Negara Komunis Indonesia.
Hingga saat ini, menurut Amidhan, masih ada pro dan kontra mengenai siapa di balik gerakan pembrontakan tersebut, dari mulai intelejen asing, friksi internal tentara Angkatan Darat saat itu, hingga intelejen asing yang ikut bermain. "MUI masih berkeyakinan bahwa pelakunya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Amidhan.
Selain Amidhan, hadir juga Letjend. Kiki Syahnakri, Prof. Mansyur Suryanegara, Dr.Taufiq Ismail, Alfian Tanjung, Harry Tjan Silalahi.
Posting Komentar
Jika anda menyertakan link baik itu link hidup atau mati maka admin akan menghapus komentar anda..terima kasih