Media Online Seputar Perbandingan Antara Ajaran Yesus Dan Ajaran Paulus Di Lengkapi Berbagai Artikel Menarik Lainnya

Anti Islam di Media Grup

Forum Silaturahmi Mantan Aktivis Lembaga Dakwah Kampus menilai MetroTV dan Media Indonesia mengidap bias anti-Islam.

Satu-satu kami anak Rohis. Dua-dua kami cinta rohis...Tiga-tiga kami bukan teroris...Satu-dua-tiga kami kecam teroris.

Itulah yel-yel sekitar tiga ribu aktivis Kerohanian Islam (Rohis) saat mereka menggelar aksi di Bunderan HI, Jakarta, Ahad (23/9) lalu. Pagi itu mereka memenuhi Bunderan HI untuk menolak pemberitaan Metro TV yang menyatakan Rohis sebagai sarang teroris. "Rohis itu bukan teroris," ujar Korlap Rohis Duren Sawit, Fauzan Maris.

Dalam aksinya mereka membawa sejumlah poster. Poster-poster itu antara lain bertuliskan 'I love Rohis', 'Ikut Rohis Bikin Cerdas, Santun dan Soleh', dan 'Smart = Sosial Media Aktivis Rohis Teladan'.

Sebelumnya, di Bandung, ratusan aktivis Rohis juga menggelar demo di halaman Gedung Sate. Mereka bahkan membawa karangan bunga yang bertuliskan: "Turut Berduka Cita Atas Matinya Etika Jurnalistik."

MetroTV: Rohis Sarang Teroris

Protes aktivis Rohis ini berawal dari tayangan MetroTV dalam program Headline News, 5 September 2012, dengan tema "Awas, Ancaman Teroris Muda". 

"Dalam tayangan tersebut, MetroTV menayangkan infografis yang tidak ada sumbernya, sehingga terjadi simplifikasi terhadap hasil penelitian Bambang Pranowo, padahal penelitiannya berfokus pada radikalisasi," jelas Kordinator Divisi Monitoring Indonesia Media Watch  (IMW), Ardinanda, dalam siaran persnya, Selasa (25/9).

Menurut IMW, siaran itu melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Standar Program Siaran (P3SPS). IMW sendiri mengaku terus memantau tayangan MetroTV selama 24 jam, dan berharap lembaga penyiaran itu memperbaiki diri dan meningkatkan mutu siaran.

"Kalau tidak, IMW akan terus melaporkan pelanggaran Metro TV ke KPI dan Kemenkominfo sampai terbitnya sanksi pencabutan izin lembaga penyiaran pengguna frekuensi publik itu," tutur IMW.

Sebelumnya pada Senin (24/9), Komisi Penyiaran Indonesia Pusat memfasilitasi dialog MetroTV dengan IMW, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK), dan Ikatan Rohis Se-Jabodetabek (IROJA). MetroTV diwakili Putra Nababan (Pimpinan Redaksi), Najwa Shihab (Wakil Pimpinan Redaksi) serta Suryopratomo (Direktur Pemberitaan).
Dalam pertemuan itu, masyarakat pemirsa yang diwakili IMW, MUI, FSLDK, dan IROJA, meminta pertanggungjawaban dan komitmen MetroTV untuk menjadi lembaga penyiaran yang jujur dan adil.

MetroTV sendiri, setelah menuai badai protes dari berbagai pihak, pada 15 September, melalui situsnya menyampaikan permohonan maaf. “Metro TV kembali ingin menegaskan bahwa tidak benar jika dikatakan telah menyebutkan Rohis sebagai sarang teroris,” tulis MetroTv. 

Namun, kata maaf itu dinilai pemrotes masih belum proporsional. Stasiun televisi anggota Media Grup milik pengusaha Surya Paloh ini menganggap publik salah paham lantaran pihaknya tidak menyebutkan sumber tayangannya.

"Memang redaksi tidak menyebutkan sumber dari info grafik tersebut yang kemudian menimbulkan tafsir bahwa lima pola itu bersumber dari MetroTV. Untuk itu,  MetroTV  meminta maaf karena telah menimbulkan kesalahpahaman," tulis MetroTV.

MetroTV Anti-Islam

Menurut Forum Silaturahmi Mantan (FSM) LDK Jabodetabek, pernyataan MetroTV itu meremehkan substansi tayangan mereka yang berdampak serius terhadap kegiatan kerohanian sekolah.

"Seolah-olah, kesalahan MetroTV sekadar kesalahan teknis yaitu tidak menyebutkan sumber infografik. Padahal, melalui tayangan itu MetroTV telah ikut memproduksi stigma negatif terhadap kegiatan kerohanian sekolah," jelas juru bicara FSM LDK Jabodetabek, John Bon Bowi.
John menegaskan, berdasarkan pengakuan sejumlah mantan pekerja profesional di Media Grup, lembaga penyiaran publik MetroTV dan koran Media Indonesia (MI) mengidap bias anti-Islam.
"Salah satu anggota FSM LDK pernah menjadi produser siaran berita di MetroTV. Karena melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemberitaan yang diskriminatif terhadap Islam, ia dibuat tidak nyaman sampai akhirnya memilih mengundurkan diri," ungkap John.

Seorang mantan mantan wartawan MI, Edy Effendi, melalui akun twitter-nya, @eae18, juga mengungkap praktik diskriminasi itu. Meski ia bekerja di MI, tetapi menurutnya Metro TV dan MI satu kantor dan selalu kerja sama dalam pemberitaan.

Ia menyebutkan, pada tahun 2000-an ketika ia masih bekerja di MI, ada empat sekawan redaksi MI yang memainkan isu agama. Mereka adalah: Andy F Noya, Saur Hutabarat, Elman Saragih, dan Laurens Tato.

"Kebetulan mereka non-muslim dan pengendali Media Grup. Para petinggi inilah yang punya peran penting mengakses berita. Surya Paloh tak tahu menahu, bahkan ketika beberapa kali MI kena somasi," tutur Edy yang mengaku pernah mendapat beasiswa menulis ke Amerika.
Diskriminasi berdasarkan agama, lanjut Edy, meliputi pola rekruitmen karyawan sejak reporter hingga petinggi, dan kebijakan pemberitaan. "Jika ada 6 reporter yang diterima, komposisinya: 2 Protestan, 2 Katolik, 2 Islam. Ini fakta, bukan fiksi. Desk redaksi yang strategis pun ditempati non-muslim, yaitu Polkam, Metropolitan, dan Mingguan," papar Edy.

Setelah protes, Edy yang pernah meraih predikat Penulis Editorial Terbaik Gelombang II, dimasukkan dalam Tim Seleksi Reporter. Tapi, "ujung-ujungnya di HRD (bagian personalia –red) dijegal juga."

Di pemberitaan MI, editorial yang ditulis Laurens Tato menyatakan, umat Islam Indonesia tak perlu membela Palestina. Ia juga melarang pemajangan foto demo PKS di halaman 1. "Pernah PKS demo besar-besaran memrotes Bill Clinton ke Indonesia. Pas rapat redaksi, Yohanes Widad, Asredpel, meminta foto jangan dipasang di hal 1," ungkap Edy.

Meski kemudian Saur Hutabarat dan Andy F Noya tak aktif lagi di MI, namun mereka masih turut bermain di balik layar. "Kenapa tak tegas saja, Media Grup anti-Islam," tandas Edy Effendi yang akhirnya memilih keluar dari MI karena tak tahan lagi.

Jalan itu pula yang akhirnya diambil Sandrina Malakiano, setelah statusnya dibiarkan terkatung-katung berbulan-bulan oleh manajemen MetroTV lantaran dia berjilbab. Tanpa nada 'merengek-rengek’, mantan penyiar utama itu menuliskan pengalaman pahitnya bekerja di MetroTV.
"Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, MetroTV," tulis Sandrina di akun Facebook-nya, yang memutuskan untuk berjilbab sejak pulang berhaji di awal 2006.

Lebih lanjut istri Eep Saefulloh Fatah itu menuturkan: "Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan MetroTV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di MetroTV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup."

Sebagai penyiar utama, Sandrina mengakui mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya ia memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan, ia tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi MetroTV.

Yang membuatnya terkejut adalah komentar sinis atas jilbabnya dari Profesor R William Liddle dan para pengidap "Islam Liberal".

"Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan MetroTV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah ‘Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar’."

Sandrina sungguh terkejut, karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di tengah kemajemukan.

"Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?" gugat Sandrina.

Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya Sandrina mengundurkan diri dari MetroTV sejak Mei 2006. Dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi yang terbaik dan bahwa dunia tak selebar daun MetroTV, Sandrina kukuh dengan keputusannya. (nurbowo, shodiq)

Posting Komentar

Jika anda menyertakan link baik itu link hidup atau mati maka admin akan menghapus komentar anda..terima kasih

[disqus][facebook]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget