Bogor (VoA-Islam) - Di Gunung Sindur, Bogor,
Jawa Barat, tempat mantan Katolik Bukhori Firmansyah tinggal, rupanya
diam-diam ia membendung Kristenisasi dengan cara simpati. Tampil low profil,
ia memberi solusi permasalahan yang ada di masyarakat. Misalnya, petani
yang mengeluh panennya gagal, akibat tak punya uang untuk membeli bibit
dan pupuk, lalu oleh Bukhori diusahakan membantu mencari solusinya.
“Ketika saya tanya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk beli bibit
plus pupuknya? Dia jawab, Rp. 200 ribu. Lalu saya coba membantu. Yang
jelas, saya bukan orang kaya, tapi saya carikan uang untuk beli bibit
dan pupuk dari orang yang dermawan. Saya ini miskin, tapi rumah ini
seperti rumahnya orang kaya. Setiap ada masalah, pasti datangnya ke
rumah ini. Yang anaknya sakit, mengadunya juga ke sini,” ungkap Bukhori
tanpa bermaksud riya.
Dengan memberi solusi seperti itulah, Bukhori yang mantan penginjil
ini, menjadi insipirasi bagi kristolog lainnya. Menurutnya, memberi
solusi adalah benteng yang paling kokoh dan efektif untuk menangkal
kristenisasi yang ada di perkotaan maupun pedesaan. Yang menarik, meski
Bukhori bukan orang berpunya, ia angkat dua anak pengamen jalanan yang
masih kecil sebagai anak asuhnya. Anak itu ia temui saat bermain di
masjid.
“Jangan takut miskin. Jika kita menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong kita. Inilah dakwah bil hal, diam tapi melaksanakan. Anak butuh pendidikan, harus disekolahkan. Sekarang kan ada fasilitas gratis. Makanya diperjuangkan.”
Bukan rahasia lagi, missionaris terus bergerilya ke desa-desa dengan
segala cara. Di desa terpencil, mereka selalu menggunakan pendekatan
yang mengundang simpati. Caranya, jika ada masyarakat yang ingin buka
warung, tidak disuruh masuk Kristen dulu, tapi dimodali.
Trik yang Menipu
Trik lain Kristenisasi yang dilakukan missionaries adalah menikahi
gadis desa, dengan membiayai pernikahannya. Yang satu ini, sering
dipandang sebelah mata, karena dianggap lakum dinukum wa liyadin.
Tapi apa dampaknya di kemudian hari? “Anak yang lahir dari orang tua
yang dulu dibiayai nikahnya, telah dikristenkan. Caranya dengan
membaptis anak laki-laki. Itulah yang biasa dilakukan misionaris
Katolik,” ungkap Bukhori.
Berkedok kemanusiaan, missionaris terus melancarkan aksi
Kristenisasi. Tapi masyarakat awam malah protes, katanya, apa salahnya
membantu? “Justru itu, missionaris hendak menarik hati orang yang
menjadi garapannya. Inilah pintu masuk gerakan pemurtadan. Mereka
seperti berinvestasi jangka panjang. Programnya adalah untuk 5-10 tahun
ke depan. Kuncinya, sabar dan keuletan,” kata Bukhori, seorang mantan
Katolik.
Para pendakwah memang harus belajar dari missionaris. Sebelum terjun
ke lapangan, misalnya, calon missionaris dibekali dengan ilmu plus
mentalnya. Mereka ditempa agar bisa survival (bertahan) di daerah
terpencil. Termasuk diajarkan mengenal jenis tanaman, mana yang beracun
dan mana yang bisa dimakan. Mereka dibekali pengetahuan untuk mengenal
medan dan kultur masyarakatnya.
Tidak sekadar dijejali ilmu agama, tapi mempelajari bahasa setempat,
minimal 6 bulan. Biasanya jika tak lulus akan ditunda pengirimannya. Tak
heran, jika banyak missionaris yang mengambil program studi pasca
sarjana (S2), khusus memperdalam ilmu Antropologi. Idealnya memang,
pendakwah harus menguasai bahasa, ilmu pertukangan, dan pertanian.
Di wilayah pedesaan seperti Gunung Sindur, misalnya, pergaulan bebas
bak bola salju. “Setiap malam minggu, anak-anak muda kerap mojok di
kebun kopi. Tahun kemarin, saya bersama jamaah masjid menggrebek tiga
pasang muda-mudi. Di kebun kopi itu, kami temukan alas koran dan kondom.
Untuk hal ini, kenapa kita kurang peduli,” kata Bukhori.
Berdayakan Ekonomi
Para kristolog sepakat, untuk membendung Kristenisasi, harus dengan
memberdayakan ekonomi masyarakat setempat. Tidak cukup memobilisasi
dengan pengerahan massa, seperti tabligh akbar.
Ormas Islam, lembaga anti pemurtadan, termasuk lembaga zakat maupun
lembaga pelayanan medis, seperti Mer-C, Dompet Dhuafa dan sejenisnya,
seharusnya bersinergis. Inilah gerakan yang secara tidak langsung telah
mengantisipasi gerakan pemurtadan, melalui pemberdayaan ekonomi, social,
pendidikan, termasuk pelayanan kesehatan.
Diakui, menangani gerakan anti pemurtadan sangat sulit. Kalau hanya
ceramah, duduk di masjid selesai. Tentu patut diapresiasi, apa yang
sudah dilakukan organisasi dakwah anti pemurtadan yang menangani
pendangkalan akidah, yakni dengan memberi wawasan kepada masyarakat
tentang kajian tauhid, bagaimana cara berdebat dengan Islamolog dari
kalangan Nasrani. Buku-buku dan VCD tentang bahaya Kristenisasi yang
diterbitkan harus dihargai sebagai bentuk kontribusi yang positif.
Karena dakwah dalam bentuk kajian ini tak kalah penting.
Namun ada masukan dari sesama Kristolog, lembaga anti pemurtadan
harus lebih fokus dengan strateginya. Tidak cukup menginformasikan
tentang agenda global Kristenisasi. Tapi, membuat peta dakwah dan
program jangka panjang. Tengoklah bagaimana seorang pendeta menanam trust
kepada masyarakat lokal. Sekalipun tanah masyarakat sudah dibeli, namun
pendeta itu memperbolehkan lahannya untuk digarap oleh petani. Inilah
daya tarik mereka di pedesaan, khususnya di Cianjur.
Saat membeli tanah di wilayah pedesaan, mereka merangkul tokoh muslim abangan
untuk dijadikan perantara. Sebagai kamuflase, tukang ojek
diiming-imingi, jalan di desa ini akan diperbaiki. Lalu ditekenlah MoU.
Saran bagus dikemukakan Bukhori, “Lakukanlah langkah operasional seperti orang Katolik, yakni, door to door. Itu
cara yang paling efektif. Kenapa pastor-pastor bisa melakukan kunjungan
ke rumah-rumah warga, sedangkan ustad-ustad jarang, bahkan hampir
tidak pernah. Juga, kenapa para imam setelah shalat, tidak berdiri di
pintu masjid, untuk menyalami jamaahnya yang pulang. Kenapa pendeta
bisa?”
Terbukti, Bukhori berhasil mem”bonsai” gereja Katolik di Gunung
Sindur menjadi tidak berkembang. “Jamaahnya import, dari Cibinong,
dijemput dengan mobil agar terkesan gereja itu banyak jamaahnya. Dengan
memberi solusi, Alhamdulillah, masyarakat muslim di sini gagal
dipengaruhi, sekalipun dengan iming-iming tertentu,” imbuhnya.
Lebih jauh, Bukhori berbagi cerita saat masih menjadi Katolik, kalau
ada jamaah yang sedang termenung, pastor itu menghampiri, lalu ditanya,
anda darimana, siapa namanya, ada masalah? Jika ada orang asing, yang
bukan jamaahnya, seorang pastor pasti akan mendekati. “Sistem yang
dipake Katolik itu sebenarnya menggunakan sistem Islam, door to door tadi. Memang seperti itulah dakwah yang paling efektif. Kepekaan harus dimiliki oleh seorang pendakwah. Makanya kudu dibudidayakan,” tandasnya.
Posting Komentar
Jika anda menyertakan link baik itu link hidup atau mati maka admin akan menghapus komentar anda..terima kasih